I stir the pot, fix the holes, and observe the reality as it is. Propagandist for hire.

Filtering by Tag: Fotografi

Me and My City – Sebuah Upaya Berpameran

Added on by Ridzki Noviansyah.

Beberapa waktu yang lalu, saya akhirnya melihat sendiri karya-karya yang dipamerkan dalam Me and My City dan mendengar langsung dari para fotografernya tentang karya mereka. Pada tulisan ini. saya akan fokus terhadap pameran secara keseluruhan karena ulasan-ulasan mengenai karya dan perbincangan di media sosial sudah disampaikan oleh rekan-rekan yang lain. Sebelum saya memulai tulisan ini, saya nampaknya harus memberi tahu dua hal; yang pertama adalah saya kenal semua yang terlibat dari pameran ini, baik para fotografer, penyelenggara, dan sponsor. Yang kedua saya merasa pameran ini dapat mencapai banyak pihak, akan tetapi sialnya hal itu tidak terjadi. Alasan yang kedua adalah kenapa saya membuat tulisan ini.

Saya bertemu Swan Ti, Wilson dan Tommy sehari sebelum karya ini dipasang. Mereka bertiga mewakili ketiga pihak yang terlibat dalam pameran ini yaitu fotografer, penyelenggara, dan sponsor. Pada saat itu saya bertanya mengenai acara pembukaan dan artist talk, namun saya tidak mendapat jawaban yang jelas. Padahal ada beberapa pertanyaan yang ingin saya sampaikan, seperti bagaimanakah para peserta ini diseleksi, apa keterlibatan Leica Indonesia, dan yang paling utama: apa yang ingin disampaikan dalam pameran ini. Setelah pameran ini dibuka, saya melihat ulasan beberapa teman di linimasa beserta dengan beberapa gambar dari karya Asih dan Ista. Tak lama muncullah cuitan dari Arief Rahman yang menyatakan foto bagus jelek sih relatif yang penting kamera mahal. Cuitan ini lalu dibalas oleh berbagai rekannya. Pendek cerita, karena saya iseng, saya ambil link-nya dan saya letakkan di Facebook saya sambil melakukan tag kepada pihak-pihak yang terlibat tadi.

Keisengan saya menghasilkan reaksi yang saya harapkan; seperti bertambahnya berbagai tulisan mengenai pameran tersebut dan dialog dengan Arief Rahman di Twitter. Reaksi yang muncul ini bukan hanya datang dari penggiat social media dan fotografer yang terlibat, tetapi juga dari Agan Harahap dan Hikmat Darmawan. Berbagai reaksi ini, sayangnya, belum bisa menjawab berbagai pertanyaan saya. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya forum publik yang mempertanggung-jawabkan hasil karya tersebut. Sampai akhirnya saya berkesempatan untuk melihat dan mendengarkan paparan dari para pelaku utama pameran itu.

Kamu, Kamu dan Kamu

Sebelum saya melanjutkan ulasan saya tentang pameran, nampaknya perlu saya jelaskan sekali lagi mengenai hubungan saya dengan pihak-pihak yang terlibat. Saya tidak hanya mengenal mereka yang terlibat secara langsung pameran ini tetapi saya juga berteman dengan mereka. Kami tidak hanya menjadi sekedar kawan diskusi atau mengadakan kerja sama atas proyek-proyek fotografi tertentu, tapi kami juga memiliki pandangan kolektif yang hampir sama.

Ini adalah hal yang menurut saya berbahaya.

Bahaya yang muncul bukan karena kami akan saling mengamini satu sama lain, akan tetapi kami akan menjadi kelompok yang eksklusif; kelompok yang tidak mampu atau tidak tahu bagaimana caranya membuka ruang dialog dengan kelompok-kelompok yang memiliki pandangan lain, seperti kelompok dengan yang mengamini cuitan dari Arief, atau kelompok yang lebih dekat dengan seni rupa seperti Mes 56 atau Ruang Rupa.

Pendek kata, kami memiiki ruang diskursus yang produktif akan tetapi ruang diskursus tadi diisi oleh wajah yang lo lagi, lo lagi—suatu kondisi yang pada akhirnya saya takutkan akan memandegkan kreativitas kami.

Karya yang kaya dan berada di muka

Permasalahan pada cuitan Arief tentang karya yang dipamerkan adalah dia merasa bahwa sebuah karya fotografi terbatas oleh alat yang digunakan. Jika menggunakan pandangan yang sama, semua orang dapat menilai bahwa sebuah masakan itu enak atau tidak berdasarkan panci yang digunakan oleh pemasak. Pandangan Arief mengenai subyektivitas dalam fotografi masih bisa saya terima, tentu saja jika itu didukung dengan berbagai alasan yang mendalam. Sialnya, argumen Arief tidak memiliki itu semua.

Kesimpulan di atas saya ambil setelah saya melihat langsung pameran dan berbicara dengan para pembuat karyanya. Ini terjadi pada artist talk yang diadakan pada tanggal 2 April 2016, beberapa minggu setelah pameran dimulai, suatu keterlambatan menurut saya.

Dalam karya-karya yang dipamerkan, kota memiliki interpretasi yang tidak jelas. Pada karya Tommy dan Wilson, kota berarti sebagian dari Jakarta yang diambil dari satu bagian waktu dan lokasi. Di karya Asih dan Ista, berbagai kota menjadi sebuah backdrop untuk semua perasaan mereka sehingga identitas kota menjadi buram. Pada karya Riva, identitas kota bahkan lebih dibuyarkan lagi atau bahkan dianggap tidak begitu penting ketimbang subyek yang dibahas.

Saya tidak akan membahas semua karya ini secara mendalam karena pembicaraan ini akan menjadi sebuah pandangan subyektif. Saya merasa berbagai karya dalam pameran ini memiliki kekayaan masing-masing dengan berbagai catatan. Catatan yang pertama adalah tidak jelasnya definisi sebuah kota dalam pameran ini, dimana kota didefinisikan seluas-luasnya sebagai subyek, obyek, dan kadang hanya keterangan, padahal salah satu tujuan dari pameran ini adalah untuk menjawab berbagai permasalahan tentang kota. Kedua, tujuan lain dari pameran ini adalah untuk meningkatkan kesadaran (awareness) tentang fotojurnalisme dan foto essay di kalangan fotografer muda, akan tetapi pameran ini tidak memiliki kapasitas untuk mencapai itu, baik dari pemilihan tempat, terlambatnya artist talk, tidak adanya undangan atau kerjasama dengan komunitas mahasiswa/anak muda, sampai tidak adanya caption dalam foto-foto yang dipamerkan tidak menunjukkan ini sebagai karya jurnalistik. Ketiga, artist talk pada pameran ini terasa tidak lebih dari diskursus eksklusif di antara orang-orang yang telah lama saling kenal, sehingga tidak muncul tanya jawab yang kritis (saya telah mencoba mengundang Arief untuk datang ke artist talk, namun dia tidak datang entah kenapa). Keempat, hampir semua karya ini adalah karya yang dibuat dalam tempo waktu yang singkat (pengecualian pada karya Tommy); ada kesan terburu-buru dan ketidakjelasan apakah proyek-proyek ini akan berubah bentuk di kemudian hari.

Akhir dari rangkaian – gema yang distruptif

Pameran Me & My City harus saya katakan sebagai pameran yang memorable--tidak karena karya-karyanya karena masih banyak pekerjaan para fotografer untuk mencari bentuk akhir dari proyek mereka--tetapi karena efek yang ditimbulkannya. Gema yang distruptif ini berhasil mengganggu kami sebagai komunitas yang terasa eksklusif sekaligus membuka ruang dialog dengan berbagai pihak; baik  yang pro maupun kontra, dan dengan mereka yang sudah terlibat dalam industri ini sebelumnya.

Tulisan dari Ben & Rara, ulasan dari Homer, Halbet,  dan Aji, serta cuitan yang saling berbalas dari Agan Harahap dan Hikmat Darmawan adalah bukti betapa distruptifnya pameran ini dan diskusi yang dihasilkannya. Kita sudah banyak menghabiskan waktu untuk menjalankan diskusi, akan tetapi apa yang akan kita lakukan untuk menjalankannya? Tatanan normatif yang berada pada diskusi fotografi yang sudah-sudah mungkin sudah harus kita tinggalkan dan beralih ke diskusi yang menjangkau lebih banyak komunitas lain yang berbeda disiplin ilmu. Hal ini pernah saya lakukan dengan The Photobook Club dengan menjangkau Creative Mornings Jakarta. Saya harap mereka yang terlibat dalam diskusi ini pun melakukan hal yang sama, semudah-mudahnya agar mereka tidak mandeg dalam kreativitas kita dan mampu terhubung dengan apa yang mereka sebut dengan kekinian di jaman sekarang.

Catatan Akhir Tahun: Tentang Fotografi Indonesia.

Added on by Ridzki.

2013 adalah tahun yang sangat amat mengasyikkan untuk fotografi, karena seakan-akan semua yang selama ini berjalan di tempat saja tiba-tiba bangkit dan bergerak secara bersama-sama. Hal ini nampaknya juga ditentukan oleh kekuatan media sosial yang berperan untuk menjadi corong kegiatan-kegiatan hal-hal yang mengasyikkan ini tadi. Tahun ini dipenuhi dengan banyak sekali peluncuran buku baik secara independen maupun dengan metode-metode yang konservatif, walaupun dari segi kuantitas buku yang diterbitkan belum sebanyak di Eropa atau Amerika, namun untuk ukuran Asia Tenggara kita mencatat produktivitas yang cukup baik. Catatan utama tentu saja diberikan untuk peluncuran buku Encounters karya Rony Zakaria, berdasarkan percakapan di artist talk didapatkan sebuah konsensus bahwa buku ini adalah titik tolak pembuktian bagi para fotografer generasi muda dan membuat semacam standar pencapaian baru, baik dari segi teknis pembuatan, penerbitan dan penjualannya buku tetapi terlebih lagi kontennya yang selama buku foto di Indonesia selalu didominasi oleh topik-topik jurnalisme dan coffeetable book. Selain buku Rony, juga ada karya fotografer muda lainnya yaitu Aji Susanto Anom yang meluncurkan buku yang hampir serupa yaitu tentang dokumentasi kota Solo yang berjudul Nothing Personal. Dari rekan-rekan fotojurnalis kita, Safir Makki pun mengeluarkan sebuah buku tentang perjalanan yang dilakukannya di Iran bersama dengan Tjandra M. Amin yang juga mengeluarkan The Colour of Sports, tak lupa pula yang baru saja mengeluarkan pre-order kemarin yaitu Intip karya Roy Rubianto. Sebelum saya lupa, publikasi alternatif The Future of The Past sebuah zine photography analog juga menjadi sebuah pengingat bahwa zine tidak lagi sebuah karya yang diproduksi secara massal dan murah, dengan kerjasama yang baik antar tim dan kedekatan pengguna fotografi analog di Indonesia ini menjadi sebuah publikasi dengan desain dan kualitas terindah di tahun ini.

Selanjutnya dari segi grup atau kolektif, akhirnya Indonesia memiliki sebuah grup yang kira-kira dapat menggambarkan apakah Street Photography rasa Indonesia, Sidewalkers.Asia yang muncul di tahun ini menyatakannya dengan hasil-hasil dari kurasi yang mereka lakukan dan artikel-artikel yang mereka keluarkan. Saya pun berharap banyak dari mereka untuk tahun 2014, mudah-mudahan makin ada gebrakan-gebrakan yang muncul dari pihak SWA seperti misalnya menumbuhkan minat umum terhadap essay photo dengan pendekatan street photography atau pameran kolektif. Tak lupa pula menjamurnya grup-grup street photography yang menggunakan kamera ponsel dan menghasilkan foto-foto yang bisa dianggap sangat baik, diharapkan kedepannya pencapaian visual mereka tak lagi hanya berdasarkan dari fotografer-fotografer luar negeri tetapi juga berani mengeskplorasi kekaayaan visual yang muncul dari diri sendiri.

Anugrah Fotografi Indonesia dan Vision International Image Festival, menjadi catatat tersendiri untuk saya karena saya menyayangkan kurangnya publisitas untuk event yang sangat penting seperti ini. Saya merasa para khalayak umum sepatutnya diberi tahu dan diberi keterangan yang seluas-luasnya agar dapat menggalang dukungan untuk acara ini kedepannya, dan saya berharap pun setelah kita berganti rezim tahun depan masih ada dorongan dari pemerintah untuk membantu mengembangkan dunia fotografi kita. Sangat disayangkan apabila AFI hanya muncul sebagai sebuah acara beberapa jam, memberikan hadiah kepada beberapa nama besar dan tidak ada tindak lanjut dan partisipasi masyarakat, hal yang sama pun dirasakan pada VIIF, baik dari jadwal pameran yang tidak tersedia, waktu yang pendek untuk dapat memasukkan portofolio untuk workshop bersama Francesco Zizola (!) dan pergi ke Bali untuk workshopnya dan hal-hal lain yang seolah-olah membuat kedua event ini adalah event yang sangat ekslusif dan tidak terjangkau oleh khalayak ramai.

Terakhir dari segi pameran, saya sangat bersyukur atas adanya mas Yudhi Soerjoatmodjo yang berhasil merangkumkan arsip-arsip dari Indonesian Press Photo Service dan membuatnya dalam sebuah format pameran dan buku yang sangat bagus sekali. Walaupun buku-buku tentang IPPHOS sudah pernah diterbitkan sebelumnya namun saya merasa ini cukup penting untuk generasi yang lebih muda, karena foto-foto yang ditampilkan dapat menyatu dengan foto-foto sejarah yang selama ini sudah pernah kita lihat sebelumnya. Selanjutnya adalah pameran Dinda Jou Ismail di Galeri Antara, yang berhasil menaikkan derajat fotografi ponsel agar menjadi setara dengan karya-karya yang pernah dipamerkan di Antara sebelumnya. Tak lupa pula dari rekan di Yogyakarta, yang berhasil mengajarkan kepada masyarakat Jakarta bahwa sebuah pameran foto tak perlu lagi mengambil sebuah tema-tema besar, fotografi vernakular masih sebuah hal yang bisa dikemas secara menarik apabila bisa dikerjakan dengan sungguh-sungguh, hal ini dibuktikan pula dengan pameran Dwi Putra yang berjudul Familiar Faces.

Saya kira ini saja yang dapat saya ingat selama tahun 2013 yang bisa menjadi catatan, berdasarkan bincang-bincang dengan beberapa rekan saya merasa tahun 2014 makin banyak lagi hal-hal yang mengasyikkan yang akan terjadi, saya cuma berharap di 2014 makin banyak orang yang mampu memiliki hubungan yang cerdas dengan karya-karyanya, karena hubungan yang cerdas tadi adalah fondasi utama untuk mengevaluasi kelemahan dan kekuatan kita. Saya juga berharap saya dapat melihat lebih banyak karya-karya lain yang muncul di luar kota-kota besar karena itu sistem support yang baik akan menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua, dan seperti yang sudah saya utarakan di awal; kekuatan sosial media akan menjadi kunci untuk pencapaian itu.

Buat Apa Lagi Kita Motret?

Added on by Ridzki.

Jadi gini ceritanya, pertanyaan ini muncul ketika saya membaca artikel tentang konflik antara Jay Maisel dan Andy Baio  lalu berlanjut kepada analisa yg ditulis oleh Jeremy Nicholl, tapi inti dari tulisan ini adalah bukan ngebahas Jay, Andy atau Jeremy tetapi lebih kepada satu statment yang ada di blog si Jeremy yaitu tentang 1 grup di Flickr, tepatnya postingan di grup itu. Saya yakin semua fotografer online pasti tau Flickr, mereka pernah nyoba make atau jadi anggota pro sekarang dari sekian banyak fitur yang ada, ada 1 fitur yg bernama group, fungsinya yah, bikin group sesuai dengan selera kita. Salah satu grup itu bernama DeleteMe, cara kerja di group ini adalah user meng-upload 1 foto dan user-user yang lain bisa voting apakah foto tersebut bisa di save atau di delete. Tersebutlah 1 user bernama André Rabelo yang mengupload 1 foto dengan resolusi kecil, buram, shaky dan tidak tajam sama sekali. Hasilnya bisa dipastikan semua orang pasti bilang delete me, tapi ternyata si uploader bukanlah fotografer aslinya dan foto yg buram, shaky dan tidak tajam itu adalah karya milik Henri Cartier-Bresson.

Ok kembali ke judul, dari pembicaraan di Group itu, mulailah saya menelusuri komentar komentar yang ada, sebagian yang menyebut itu harusnya dihapus mulai sadar mereka salah, beberapa orang mengucapkan "inilah yang terjadi kalau sebagian besar tidak mempelajari sejarah fotografi" tapi yang paling menohok dan membuat saya berpikir adalah komentar dari The Chorizo Warrior yang saya ambil kutipannya:

WHO WILL REMEMBER A PERFECT SHOT SET UP IN A STUDIO OF A F*%^ING TOMATO IN 50 YEARS TIME?!!??

Dan komentar itu adalah inti dari blog posting ini semua.

Beberapa kita membawa kamera ketika travelling, beberapa membawa di jalanan, beberapa bawa untuk gaya biar ada yg digantungin di leher dan beberapa bawa karena mereka penghasilannya untuk memotret. Khusus yang terakhir mungkin postingan yang ini tidak akan berlaku.

Ketika kita travelling apa yg akan kita foto? Sunrise, Sunset, gunung yang berlapis, slow shutter sungai/pantai/awan, orang-orang yg kita temui atau foto narsis mungkin?

Ketika kita di jalan mendokumentasikan hidup, kita membahas atau terinspirasi dari Cartier-Bresson, Gilden, Parr, Stuart atau Moriyama. Atau sebagian besar mungkin masih terjebak bahwa kalau di jalanan ya moto yang paling gampanglah pengemis atau anak-anak jalanan dan diberi caption yang sedikit mengiba.

Ketika kamera menjadi aksesoris, yah kalo ga narsis, ya foto temen-temen atau pacar yang unyu-unyu atau yah keluarga.

Singkatnya tiap kali kita memotret, tiap kali kita memencet shutter semua yang terekam yang di memory card kita pasti gambar gambar yang sudah sering muncul. Cuma di tempat atau dengan subject yang berbeda dengan fotografer yang berbeda pula. Dari sini bisa disimpulkan sebagian besar dari pemilik kamera itu mandeg proses kreatifnya, karena berulang melulu konsep fotonya.

Jadi kalau sudah berulang kali kita potret, berulang kali kita liat dan berulang kali kita lakukan. Buat apa lagi kita motret kalau cuma menuh-menuhin harddisk?